السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
SALAM SEJAHTERA untuk kita semua pembaca sekalian kali ini BERITA LOMBOK akan menyampaikan berita terkait Kecimol-Ale-ale Dinilai Bukan Adat Ayo, Selamatkan Budaya Nyongkolan, simak berita selengkapnya berikut ini.
Bergesernya makna adat Sasak Nyongkolan akhir-akhir ini terus mendapat sorotan dari berbagai pihak. Nyongkolan dianggap telah keluar dari pakem kesasakan, dan harus segera dilakukan pembenahan.
Bahkan praktisi budaya asal Lombok Barat HL Anggawa Nuraksi mendesak agar aparat kepolisian mengeluarkan diskresi. Pun demikian pemerintah terkait diminta segera mengeluarkan Perda untuk menyelamatkan tradisi sakral Nyongkolan.
”Dulu Nyongkolan mengangkat harkat martabat kesasakan, tapi sekarang justru merendahkan martabat kesasakan itu sendiri,” terangnya selepas membuka acara lokakarya di Gerung, kemarin (6/2).
Pria yang karib disapa Miq Anggawe ini melihat, pada acara Nyongkolan saat ini dijumpai sejumlah pelanggaran. Seperti Nyongkolan saat melewati kuburan yang seharusnya 100 meter sebelum dan sesudah kuburan tidak boleh nabuh. Pun demikian ketika bertemu jenazah atau masjid.
“Kalau bertemu jenazah harus berhenti dan menghadap ke mayat tersebut. Tapi sekarang justru sebaliknya,” keluhnya.
Selain itu, Miq Anggawe juga menilai waktu Nyongkolan alias rarak kembang waru juga perlu dikaji ulang. Pasalnya sudah sangat jauh menyimpang. Rarak kembang waru, kata Miq Anggawe harus selesai dilakukan pukul 16.30 Wita. Namun yang terjadi sekarang, azan magrib berkumandang pun nabuh masih dilakukan.
”Itu diberhentikan dengan maksud solat asar dan magrib tidak terganggu,” jelasnya.
Terkait dengan sejumlah pelanggaran-pelanggaran itu, ia meminta aparat kepolisian untuk segera melakukan diskresi. Supaya Nyongkolan yang sedikit demi sedikit telah mengalami pergeseran itu, kembali ke makna sebenarnya.
”Kita mohon bapak kepolisian bekerja sama supaya melakukan diskresi dalam undang-undang kepolisian. Bisa mengambil sikap kebijakan sesuai tuntuan agama apabila melanggar. Disinilah kerja sama kita. Pemahaman dan visi kita sama,” tukasnya.
Selain meminta pihak Kepolisian untuk membuat diskresi, Anggawa juga mendesak pemda baik itu kabupaten maupun propinsi untuk membuatkan acuan umum yang bisa dijadikan pegangan.
”Mungkin semacam peraturan daerah atau semacam aturan yang bisa menjadi acuan kami sebagai masyarakat sasak untuk melindungi adat istiadat kita,” imbuhnya.
Ditempatyang sama, Kapolres Lobar AKBP I Wayan Jiartana menyambut positif apa yang dilakukan praktisi budaya itu. Menurutnya, itu merupakan langkah maju melihat marwah adat sasak yang mulai mengalami pergeseran.
Saat disinggung mengenai usulan diskresi, Jiartana menegaskan, tindakan diskresi kepolisian tidak hanya berpangku pada hukum positif dalam memberikan pelayanan ke masyarakat.
Menurutnya, ada hukum-hukum adat di luar hukum positif yang perlu dipertimbangkan. ”Salah saya kalau dituntut untuk diskresi. Haruslah ditindaklanjuti dengan peraturan daerah. Agar kita tidak disalahkan,” tandasnya.
Seperti diketahui, dalam beberapa kegiatan atau prosesi Nyongkolan, banyak hal yang dianggap menyalahi norma-norma adat dan agama. Salah satunya keberadaan kecimol dan ale-ale yang dinilai tidak sejalan dengan adat Sasak.
Terkait ha itu, Miq Anggawa menganggap, Kecimol dan Ale-ale bukanlah adat sasak, namun sekadar hiburan. Ia hanya menyoroti waktu pentas kecimol dan ale-ale serta aksi-aksi erotis dan terkesan seronok.
”Kecimol dan ale-ale itu hiburan. Sedangkan nyongkolan adalah ritual adat. Seharusnya pementasannya juga dilakukan malam hari,” ungkapnya.
Lebih lanjut disampaikan Anggawa, Nyongkolan hendaknya mengedepankan tiga hal yakni Wirame, Wirase, dan Wirage. Pun terkait adanya kecimol dan ale-ale dalam prosesi nyongkolan, ia menegaskan keberadaan ale-ale dan kecimol sudah kehilangan arah. ”Sekarang ini sudah mulai melenceng dari aturan kita,” sambungnya.
Ia sadar untuk melakukan perubahan, tidak mudah dan harus dilakukan secara perlahan. Untuk itu, ia menekankan empat hal seperti krama adat yang ada di kampung perlu dilakukan revitalisasi, krama adat harus membuat awig-awig yang berkaitan dengan prosesi nyongkolan. “Terpenting dibentuk Polmas serta pengadilan adat,” tandasnya.
Bergesernya makna adat Sasak Nyongkolan akhir-akhir ini terus mendapat sorotan dari berbagai pihak. Nyongkolan dianggap telah keluar dari pakem kesasakan, dan harus segera dilakukan pembenahan.
Bahkan praktisi budaya asal Lombok Barat HL Anggawa Nuraksi mendesak agar aparat kepolisian mengeluarkan diskresi. Pun demikian pemerintah terkait diminta segera mengeluarkan Perda untuk menyelamatkan tradisi sakral Nyongkolan.
”Dulu Nyongkolan mengangkat harkat martabat kesasakan, tapi sekarang justru merendahkan martabat kesasakan itu sendiri,” terangnya selepas membuka acara lokakarya di Gerung, kemarin (6/2).
Pria yang karib disapa Miq Anggawe ini melihat, pada acara Nyongkolan saat ini dijumpai sejumlah pelanggaran. Seperti Nyongkolan saat melewati kuburan yang seharusnya 100 meter sebelum dan sesudah kuburan tidak boleh nabuh. Pun demikian ketika bertemu jenazah atau masjid.
“Kalau bertemu jenazah harus berhenti dan menghadap ke mayat tersebut. Tapi sekarang justru sebaliknya,” keluhnya.
Selain itu, Miq Anggawe juga menilai waktu Nyongkolan alias rarak kembang waru juga perlu dikaji ulang. Pasalnya sudah sangat jauh menyimpang. Rarak kembang waru, kata Miq Anggawe harus selesai dilakukan pukul 16.30 Wita. Namun yang terjadi sekarang, azan magrib berkumandang pun nabuh masih dilakukan.
”Itu diberhentikan dengan maksud solat asar dan magrib tidak terganggu,” jelasnya.
Terkait dengan sejumlah pelanggaran-pelanggaran itu, ia meminta aparat kepolisian untuk segera melakukan diskresi. Supaya Nyongkolan yang sedikit demi sedikit telah mengalami pergeseran itu, kembali ke makna sebenarnya.
”Kita mohon bapak kepolisian bekerja sama supaya melakukan diskresi dalam undang-undang kepolisian. Bisa mengambil sikap kebijakan sesuai tuntuan agama apabila melanggar. Disinilah kerja sama kita. Pemahaman dan visi kita sama,” tukasnya.
Selain meminta pihak Kepolisian untuk membuat diskresi, Anggawa juga mendesak pemda baik itu kabupaten maupun propinsi untuk membuatkan acuan umum yang bisa dijadikan pegangan.
”Mungkin semacam peraturan daerah atau semacam aturan yang bisa menjadi acuan kami sebagai masyarakat sasak untuk melindungi adat istiadat kita,” imbuhnya.
Ditempatyang sama, Kapolres Lobar AKBP I Wayan Jiartana menyambut positif apa yang dilakukan praktisi budaya itu. Menurutnya, itu merupakan langkah maju melihat marwah adat sasak yang mulai mengalami pergeseran.
Saat disinggung mengenai usulan diskresi, Jiartana menegaskan, tindakan diskresi kepolisian tidak hanya berpangku pada hukum positif dalam memberikan pelayanan ke masyarakat.
Menurutnya, ada hukum-hukum adat di luar hukum positif yang perlu dipertimbangkan. ”Salah saya kalau dituntut untuk diskresi. Haruslah ditindaklanjuti dengan peraturan daerah. Agar kita tidak disalahkan,” tandasnya.
Seperti diketahui, dalam beberapa kegiatan atau prosesi Nyongkolan, banyak hal yang dianggap menyalahi norma-norma adat dan agama. Salah satunya keberadaan kecimol dan ale-ale yang dinilai tidak sejalan dengan adat Sasak.
Terkait ha itu, Miq Anggawa menganggap, Kecimol dan Ale-ale bukanlah adat sasak, namun sekadar hiburan. Ia hanya menyoroti waktu pentas kecimol dan ale-ale serta aksi-aksi erotis dan terkesan seronok.
”Kecimol dan ale-ale itu hiburan. Sedangkan nyongkolan adalah ritual adat. Seharusnya pementasannya juga dilakukan malam hari,” ungkapnya.
Lebih lanjut disampaikan Anggawa, Nyongkolan hendaknya mengedepankan tiga hal yakni Wirame, Wirase, dan Wirage. Pun terkait adanya kecimol dan ale-ale dalam prosesi nyongkolan, ia menegaskan keberadaan ale-ale dan kecimol sudah kehilangan arah. ”Sekarang ini sudah mulai melenceng dari aturan kita,” sambungnya.
Ia sadar untuk melakukan perubahan, tidak mudah dan harus dilakukan secara perlahan. Untuk itu, ia menekankan empat hal seperti krama adat yang ada di kampung perlu dilakukan revitalisasi, krama adat harus membuat awig-awig yang berkaitan dengan prosesi nyongkolan. “Terpenting dibentuk Polmas serta pengadilan adat,” tandasnya.
BACA JUGA :
Sekian INFO BERITA LOMBOK yang kami lansir dari lombokpost semoga bermanfaat jangan lupa LIKE FANS PAGE dan silahkan di SHARE Terima kasih atas kunjungan anda.....
0 Response to "Kecimol-Ale-ale Dinilai Bukan Adat Ayo, Selamatkan Budaya Nyongkolan"
Posting Komentar